"Buku adalah jendela dunia, jendela yang membuka masa depan, masa kini, dan masa lalu yang tertinggal."
Satu minggu lalu saya membaca sebuah buku biografi tentang Tan Malaka. Saya bukan memihak pada satu kelompok atau mengikuti aliran manapun. Namun saya menulis untuk mengajak temen- temen pembaca mulai membolak- balik halaman sejarah untuk mengenal lebih dalam para pendiri bangsa.
Kenapa penting sih?
Karena kata presiden pertama kita, Bapak Soekarno, negara yang maju adalah negara yang menghargai jasa pahlawannya.
---
Judul buku: Tan Malaka Bapak Republik Yang Ditinggalkan, Seri Buku Tempo Bapak Bangsa (2010)
Cover buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan |
Tan Malaka: Bapak Republik yang Ditinggalkan adalah seri buku Tempo edisi Bapak bangsa. Sebelumnya Tempo telah menerbitkan kisah perjuangan Soekarno, Hatta, dan Syahrir. Edisi Tan Malaka merupakan pelengkap sekaligus benang merah yang membuka siapa sebenarnya beliau. Buku ini terdiri dari 185 halaman termasuk indeks, empat bab utama, 25 sub bab, dan tujuh artikel Tan Malaka dalam satu bab terpisah.
Siapa sebenarnya Tan Malaka?
Tan Malaka adalah orang Minang asli, lahir di Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tanggal 2 juni 1897(tidak ada catatan resmi tentang waktu kelahiran Tan).
Ayah ibunya bernama Rasad dan Sinah. Ia adalah anak sulung dari dua bersaudara. Sejak kecil ia memiliki jiwa nekat, berani, dan cerdas. Karena kecerdasannya ia bisa bersekolah hingga ke negeri Belanda mendalami ilmu keguruan.
Di negeri Belanda ia berkenalan dengan komunisme. Ia sering berdiskusi dan suka membaca. Kembali ke Indonesia Tan menjadi tenaga pengajar. Awalnya ia bekerja di sebuah sekolah Belanda. Ia melihat ketidakadilan antara pendidikan orang- orang borjuis dengan pribumi. Ia mengundurkan diri dan memutuskan mengajar anak- anak rakyat.
Ia mendidik untuk membangun jiwa bangsa, memasukan nilai- nilai komunis dan kebangsaan. Tan Malaka seorang pejuang antidiplomasi. Ia bersebrangan dengan tokoh- tokoh besar seperti Hatta dan Syahrir. Bahkan ia menolak sikap Soekarno yang mau berunding dengan sekutu. Baginya merdeka adalah harga mati.
Tan Malaka adalah seorang komunis yang tetap mengakui agama. Bahkan saat Komintern (asosiasi komunis internasional yang bermarkas di Uni Soviet) menolak Pan- Islamisme dan menganggap mereka adalah penjajah, Tan menolak sikap ini. Dalam pidatonya di depan delegasi komunis Internasional ia berkata“ di depan Tuhan saya seorang muslim, namun di depan manusia saya bukan muslim.”
Seorang Tan Malaka bukan orang yang sekedar ikut-ikutan. Ia menelaah, mencari tahu dan menggunakan konsep-konsep aliran tersebut untuk membangun cita-cita kemerdekaan bangsa. Pada pemberontakan PKI melawan belanda pada 1925, Tan Malaka menolak pemberontakan yang dirumuskan kawan-kawan separtainya. Ia menganggap rakyat dan partai belum siap. Hal ini membuat ia terbuang dari partainya sendiri. Namun ia teguh dan menjunjung kebenaran yang ia yakini.
Saya melihat seorang bapak bangsa yang luarbiasa. Ia berjuang demi bangsanya namun mati diburu bangsa sendiri. Ia hidup dalam pelarian, sakit keras, bersama ideologi yang ia yakini. Ia seorang komunis namun ditinggal oleh orang-orang yang meyakini diri mereka komunis. Ia pejuang yang tidak dihargai dalam perjuangan. Kini ia telah tiada namun hasil pemikirannya dan semangat juang tertuang dalam goresan tinta dan cerita dari mulut kemulut.
Terima kasih sudah mengunjungi blog saya. In syaa Allah setiap minggunya bakal ada tulisan- tulisan sederhana saya. Saya berharap comment yang membangun dari temen- temen pembaca semua.
Baca juga review seri Tempo lainnya, Muhammad Hatta Ibarat Buku yang Tak Pernah Tamat Dibaca dan Melihat Indonesia dari Kaca Mata Sutan Sjahrir .
Komentar
Posting Komentar