Bicara soal hati, aku mulai berkenalan dengannya lagi. Setelah cukup lama tidak berbincang dengannya. Kira-kira obrolanku dengannya begini.
***
"Assalamu'alaikum hati!" Aku mulai menyapa semoga hatiku sehat-sehat saja selama ini, seolah aku dan hati duduk bersisian di bangku yang sama.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh diriku yang kurindukan." Hati menyambut salamku dengan sempurna. Artinya dan keselamatan atas kamu, dan rahmat Allah, dan keberkahan. Dan ia tersenyum manis sekali, aku belum pernah melihat bayanganku tersenyum semanis itu.
"Maaf udah lama ya kita ga ngobrol, baik-baik aja kan?" Tanyaku penasaran.
"Hmm yap, alhamdulillah hanya rindu saja bisa ngobrol lagi." Ia membalas dalam kebaikan, kenapa ya kalau sudah mengobrol dengan hati, ia akan memilih jawaban yang indah.
Awalnya canggung, aku pun tidak tahu harus bicara apa. Seperti bertemu teman lama, aku hanya tersenyum lagi menatapnya.
"Kalau kamu, baik-baik saja?" Namun hati yang bertanya lagi, ia seperti tahu aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Aku, alhamdulillah cukup baik, kadang flu, kadang pusing, kadang rindu,..." Membalasnya dengan cara yang sama, aku mulai berkaca-kaca.
"...kadang aku lelah, kadang terlalu lelah, bahkan aku sering melarikan diri. Aku berusaha tetap di garis tepi kehidupanku sendiri, agar aku tidak terlibat masalah berarti. Aku tidak ingin menangis, dan akhirnya aku tidak tertawa."
Hati lalu menggenggam tanganku yang gemetaran.
"...Aku juga memilih tidak takut, akhirnya aku tidak juga berani. Pernah satu kali, aku berusaha kuat, dan sekuat tenaga aku menggunakan logikaku. Aku berhasil melewatinya, tapi selanjutnya, aku benar-benar sendirian. Maaf aku terlalu banyak cerita..."
Ia menggeleng, dan memelukku lembut.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, tidak apa-apa..." Hatiku menepuk punggungku perlahan, aku jadi ingat saat ibuku yang melakukannya.
"...kamu sudah berusaha, sekarang bersandarlah...." Sekarang ia merangkulku seperti seorang sahabat.
"...Kamu harus juga duduk beristirahat." Dan aku menyandarkan penatku di pundaknya. Kemudian membiarkan air mataku perlahan jatuh, satu-satu, menitik di tangganya yang menggenggam tanganku.
Perbincangan yang lebih banyak diisi oleh keheningan, air mata, dan senyuman. Aku pendiam. Hati, ia pendiam, tapi bijaksana.
Aku tidak lagi pamit, aku mengucapkan terima kasih untuk semua kebijaksanaannya. Kemudian, meminta bantuan untuk kedepannya.
"Sepertinya aku akan sangat sering mengobrol denganmu."
"Tentu saja, aku memang diciptakan untuk membantumu."
"Terima kasih, Kebaikan dan Rahmat Allah untukmu."
"Kebaikan dan Rahmat Allah kembali padamu."
***
Untuk memulainya biarkan diri untuk mengetuk pintu lebih dulu. Menyapa dengan baik dan menunggu. Biar kadang memang sulit untuk memulai, tapi sejatinya ia selalu menunggu dan tidak kemana-kemana. Hati, adalah makhluk yang menjaga kita, seperti sahabat, jadi ia akan selalu ada.
Untuk hati yang merindu, terima kasih sudah menunggu. Kini aku pulang, dan aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Terima kasih dan mohon kerja samanya.
Komentar
Posting Komentar