Kemana nyawa tulisan-tulisanku?
Bertahun-tahun aku belajar untuk membuat orang lain tertarik dengan tulisanku. Aku lupa bagaimana cara menulis untuk diriku sendiri. Hal ini bisa jadi adalah satu alasan aku tidak pernah bisa menulis dengan baik. Akhirnya, aku iri pada karya orang-orang yang akan selalu lebih baik. Lucunya karya orang lain malah jadi pelarianku.
Healing dan me-time, aku memilih menikmati lebih banyak drama dan narasi orang lain, mendengarkan melodi yang sedang hits, dan membaca fiksi dan non-fiksi online yang mungkin berhubungan dengan hidupku. Hingga aku lupa pada kisah-karyaku, dan menulis untuk menghargai hidupku.
Seseorang pernah berkata...
'bahwa menulis adalah bentuk penghargaan hidup'.
Menulis bukan membuat diriku abadi, karena keabadian hanyak milik Allah SWT. Namun menulis adalah wujud kehidupan bagiku. Wujud keberadaanku dengan meninggalkan jejak kisah, ialah pemikiran, perasaan, pengalaman, imajinasi, ide-ide, dan kenangan.
Si pengecut ini butuh ruang untuk menjadi dirinya, dan itu bernama tulisan.
Bagaimana kata demi kata dirangkai, adalah seni dan jati diri seorang penulis. Ia yang suka menutup-nutupi dirinya akan punya seribu satu lapisan kalimat yang menyelubungi inti ceritanya. Atau orang yang ceria dan optimis dengan kehidupan selalu bisa menginspirasi orang-orang dengan diksi yang terbuka, posisi koma dan titik yang apa adanya.
Setiap kata dengan berbagai makna, punya cara berbeda untuk diutarakan. Setelah kata-kata ini selesai dirangkai menjadi satu tulisan, ia memiliki hak untuk diterbitkan dan ditemukan pembacanya. Tidak ada jaminan tulisan akan bermuara pada ketenaran, keuntungan materi, dan kepentingan ego si penulis. Jadi, lebih baik menulislah untuk diri dan syukur-syukur jika bermanfaat bagi kamu yang tidak sengaja menemukannya.
Penulis tidak pernah menjadi lebih baik karena tulisannya, tapi ia bisa terus memperbaiki hidup karenanya.
Aku menuliskan semuanya, penting dan tidak penting, nyata dan imajinasi, atau fakta dan opini. Namun, bumbu ceritaku tidak semanis utopia romansa anak muda di usiaku. Bagiku, ide tulisanku lebih banyak menjawab pertanyaan nyeleneh di balik kehidupan, keluh kesah filosofis, atau berita sains yang tidak populer. Namun dibalik itu, ada kepuasan dan kata cukup yang menaikkan level dopamin.
Aku belum berhasil bisa memasukan hubungan antar-manusia ke dalam tulisanku. Terlalu kompleks dan aku pun tidak mengerti bagaimana menuliskannya, apalagi kisah cinta. Katakan saja bahwa aku tidak memilikinya, itu bahasa sederhana untuk manusia yang masih terjebak dengan trauma. Namun, beberapa tulisan yang hadir di blog ini, berusaha menarikku keluar dari rasa takut dan tidak percaya itu.
Akhirnya, aku tidak menyerah pada tulisan.
Komentar
Posting Komentar